Ditulis oleh: Jessica David dari Bitung
Perjalanan saya dan tim ke Dogiyai, Papua dimulai dengan menempuh jarak sekitar enam jam dari Nabire. Meski melelahkan, rasa lelah terbayar begitu kami tiba di Dogiyai, disambut oleh keindahan lembah hijau yang membentang luas. Pemandangan yang menakjubkan ini menjadi latar dari hari-hari penuh makna di sana.
Pada hari pertama pengimbasan, ada satu sosok yang membuat saya terpana: seorang ibu guru yang datang sambil menggendong bayinya. Selama mengikuti setiap sesi materi, meskipun anaknya kadang menangis, ia tetap tenang dan fokus. Saya terkejut lagi saat mengetahui bahwa ibu ini sedang hamil. Namun, kondisi itu tidak membuatnya menyerah. Bahkan di hari selanjutnya, kami juga dikejutakan ketika ada peserta yang baru saja kehilangan kakak kandungnya, ia tetap hadir dalam pelatihan, berkata bahwa setelah pemakaman sang kakak di Nabire, ia akan kembali secepatnya untuk pelatihan demi masa depan anak-anak di Dogiyai.
Kisah lain yang menginspirasi adalah tentang seorang anak yang sakit. Dia pulang ke rumah pada sesi kedua dan anak tersebut justru kembali di sesi berikutnya, berkata bahwa ia sudah sembuh. Kegigihan para guru dan siswa di Dogiyai begitu nyata, mereka tak ingin ketinggalan sedikit pun materi meskipun ada tantangan fisik dan kesehatan. Ini mencerminkan betapa besar kehausan mereka akan pendidikan, di tempat yang selama ini sering dianggap tidak aman.
Selama lima hari, kami mengajarkan materi penjumlahan. Ada beberapa siswa yang kami masukkan ke dalam kelas khusus, karena mereka kesulitan memahami pelajaran. Namun, kami segera sadar bahwa kendala mereka bukan pada kemampuan belajar, melainkan bahasa. Mereka hanya fasih dalam bahasa ibu mereka, yaitu Bahasa Dogiyai. Tantangan ini mendorong saya untuk mempelajari Bahasa Dogiyai dasar, dan hasilnya luar biasa: begitu materi disampaikan dalam bahasa yang mereka pahami, anak-anak tersebut bisa cepat menangkap dan menjawab pertanyaan. Di sini saya sadar, jika kita harus memahami mereka dengan belajar bahasa daerah dan mengerti budaya mereka, agar pembelajaran bisa lebih efektif.
Di sisi lain, kami juga melihat anak-anak yang sangat antusias dalam kelas percepatan. Mereka begitu cepat dan mahir dalam berhitung. Keinginan belajar yang besar ini menjadi bukti bahwa potensi mereka sangat tinggi.
Selain pendidikan, kami juga terlibat dalam pengambilan video pasangan 10, yang membawa kami mendaki tiga puncak gunung. Walaupun perjalanan ini menantang, semua lelah sirna ketika kami melihat keindahan alam Dogiyai. Pengalaman ini juga menunjukkan betapa pentingnya budaya bagi masyarakat Dogiyai. Mereka sangat bersemangat saat mengenakan pakaian adat seperti koteka dan moge, merasa dihargai karena budaya mereka dilestarikan dan diperlihatkan kepada dunia luar.
Di hari terakhir, perpisahan terasa begitu emosional. Ada seorang anak yang bolak-balik ke rumah tiga kali karena sangat menyayangi dan berat hati meninggalkan ibu gurunya. Para guru berharap pelatihan ini bisa terus berlanjut dan tidak berhenti di sini, meskipun tantangan keamanan di daerah mereka sering menjadi kendala.
Pengalaman di Dogiyai membuka mata kami bahwa pendidikan adalah kunci bagi perubahan, dan kami percaya bahwa misi ini bukanlah kebetulan. Kami merasa diberkati bisa berada di Dogiyai, dan kami bertekad untuk menjadi berkat bagi para guru dan anak-anak di sana. Semoga benih kebaikan yang ditanam selama ini bisa tumbuh menjadi awal dari perubahan yang lebih baik bagi Kabupaten Dogiyai.
Kami menggunakan cookie untuk menganalisis lalu lintas situs web dan mengoptimalkan pengalaman situs web Anda. Dengan menerima penggunaan cookie, data Anda akan dikumpulkan bersama data pengguna lainnya.