Ditulis oleh: Jessica David dari Bitung
Perjalanan kami dari Balikpapan ke PPU cukup menantang, kami menggunakan transportasi laut (speedboat) agar bisa lebih cepat, karena perjalanan darat bisa memakan waktu lebih dari 4 jam, sedangkan dengan laut hanya 15 menit. Saat tiba di PPU, salah satu panitia menyampaikan bahwa guru-guru yang datang cukup sulit untuk diajak, namun saya melihat ini sebagai tantangan. Belum memulai, sudah ada pembicaraan seperti itu.
Pada hari pertama, saya mulai bertemu dengan para guru, baik guru SMP (matematika) maupun guru SD. Ada sekitar lima guru yang sudah hampir pensiun. Di awal saya mengajar di aula, saya merasa apa yang dikatakan panitia memang benar, tetapi saya tidak menyerah. Saya menciptakan suasana yang asyik, sehingga para peserta mulai menerima dan merasa nyaman. Mereka mulai berkata, "Wah, ternyata asyik juga!" dan mulai menikmati sesi. Ketika kami mulai mengajarkan cara menghitung, mereka semakin tertantang. Salah satu guru SMP bertanya mengapa kami mengajarkan bilangan dan penjumlahan yang ada di bawah 20. Saya tersenyum dan menjelaskan, "Lihat saja perbedaannya." Seiring waktu, mereka mulai memahami, bahkan mereka tertawa bersama karena menyadari bahwa meskipun mereka adalah guru matematika, tetap saja bisa salah jika diminta menjawab dengan cepat.
Hari pertama kami awali dengan tawa dan semangat yang luar biasa. Terutama saat sesi games, peserta lupa waktu dan tidak ingin beristirahat. Di hari kedua, antusiasme guru dan siswa semakin terlihat. Di aula, saat saya menunjukkan video pasangan 10, beberapa guru langsung membuat lirik lagunya, lalu mereka membagikannya. Kreativitas mereka pun mulai berkembang, dari mulai membuat gerakan hingga menentukan kostum yang akan digunakan. Luar biasa sekali semangat guru-guru di PPU.
Hari ketiga dan seterusnya, kami mendapat banyak pengalaman berharga. Ternyata, yang kami ajar bukan hanya anak-anak dengan numerasi di bawah rata-rata, tetapi juga ada anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak-anak yang tidak bisa membaca atau menulis. Salah satunya adalah Aska, seorang anak ABK, yang senang belajar meskipun mood-nya kadang berubah. Kami memberinya kesempatan untuk menggambar, dan ia mau mengikuti instruksi meskipun terkadang semangatnya hilang. Anak yang awalnya tidak bisa membaca dan menulis juga mulai berkembang sedikit demi sedikit, dan kami sangat bahagia melihat kemajuan mereka.
Proses pengambilan video pasangan 10, dari latihan hingga syuting, penuh dengan canda tawa. Banyak dari peserta yang baru pertama kali datang ke IKN, termasuk saya dan tim. Kami melewati lelah bersama dengan tawa yang menguatkan semangat kami. Meskipun perjalanan dari PPU ke IKN cukup jauh, semangat peserta tidak pernah pudar. Mereka sangat senang berbagi kebudayaan di sana, dan antusiasme mereka tetap terasa meskipun acara sudah selesai.
Saya juga mendengar cerita inspiratif dari salah satu guru yang sempat merasa ingin menyerah. Beliau pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya pincang, dan istrinya sempat koma. Jarak dari rumah ke sekolah 70 km, dan beliau harus berangkat dengan motor sambil membawa tongkat untuk membantunya berjalan. Meskipun kondisi sangat sulit, semangatnya untuk mengajar tidak pernah padam. Ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa kekurangan tidak membuat kita menyerah, justru menambah semangat untuk berkarya.
Selama di PPU, saya juga mengenal Tama, seorang anak angkat saya yang merupakan peserta dari SMP. Tama adalah anak yang sangat membutuhkan kasih sayang keluarga. Saya mendengar dari gurunya bahwa Tama adalah anak yang tidak naik kelas, jarang masuk sekolah, dan nilai numerasinya masih rendah. Tama tinggal bersama neneknya karena ayahnya tidak diketahui keberadaannya, sementara ibunya berada di penjara. Awalnya, Tama mengikuti pelatihan dengan biasa saja, tetapi lama kelamaan, ia sangat senang mengikuti kegiatan ini. Suatu hari, gurunya berkata kepada saya, "Bu, Tama sangat senang melihat ibu datang ke kelas," dan saya terkejut mengetahui bahwa Tama merasa saya mirip dengan ibunya yang sudah lama tidak ia temui. Saat saya berkeliling kelas, saya sering melihat Tama tidak fokus, dan ketika saya mendekatinya, matanya hampir menangis karena senang melihat saya. Momen itu sangat menyentuh hati saya. Pada hari terakhir, saya baru tahu bahwa Tama bekerja sebagai badut di pinggir jalan untuk mencari uang. Setiap malam, Tama harus menjadi badut dari siang hingga malam hanya untuk mendapatkan uang untuk makan. Melihat perjuangan Tama untuk bertahan hidup membuat saya sangat terharu.
Dari pengalaman di PPU, saya belajar banyak hal:
Kami menggunakan cookie untuk menganalisis lalu lintas situs web dan mengoptimalkan pengalaman situs web Anda. Dengan menerima penggunaan cookie, data Anda akan dikumpulkan bersama data pengguna lainnya.